Notification

×

Kode Iklan Disini

Kode Iklan Disini

Sekolah Di Muara Enim Marak Jual Buku LKS, Lantas Dana BOS Di Kemanakan?

Minggu, 04 Agustus 2024 | 23.16 WIB Last Updated 2024-08-04T17:25:51Z

MATACYBER | PALEMBANG, - Masuk tahun ajaran baru di lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD,SMP dan SMA Negeri penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masing-masingnya sering terendus mengunakan cara untuk meraup keuntungan pribadi, diantaranya dengan penjualan buku LKS ke peserta didiknya.

Terlihat kecil dan sepele, tapi tindakan itu jelas sudah mengabaikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008.

Selain itu, praktek mewajibkan, memaksa, mengintimidasi murid / wali murid agar membeli LKS juga dilarang menurut Ombudsman.

Apapun alasannya, diminta sekolah – sekolah “stop” jual beli buku LKS di sekolah karena itu sudah membebani wali murid, baik SD, SMP maupun SMA.

Pemerintah sudah sangat besar mengeluarkan anggaran untuk pendidikan hingga 20 persen. Dengan tujuannya agar setiap anak bisa mengenyam pendidikan secara layak, kendala permasalahan ekonomi jangan menjadi halangan bagi anak untuk menikmati pendidikan

Karena saat ini kebutuhan belajar pokok bagi siswa, terutama di tingkat pendidikan dasar (SD-SMP), telah terpenuhi dengan dana BOS. Termasuk di dalamnya buku LKS, tapi kenapa di sekolah – sekolah masih saja menjual buku LKS ke peserta didik.

Hal itu disampaikan Aktivis Pemerhati Pendidikan Kabupaten Muara Enim Elvandes HM SH kepada media ini, terkait banyaknya keluhan wali murid yang disampaikan kepadanya mengenai praktek jual beli buku LKS di sekolah – sekolah Kabupaten Muara Enim, Minggu (04/08/2024).

Elvandes mengatakan dengan sistem yang ada saat ini, tidak boleh lagi ada sekolah yang melakukan pungutan kepada pelajar, termasuk diantaranya modus menjual buku LKS kepada pelajar.

”Dilarang sekolah membuat kebijakan yang memberatkan siswa karena BOS sudah dapat memenuhinya,” tegas Elvandes lagi.

”Atau jangan – jangan dana BOS untuk kebutuhan LKS pelajar sudah diselewengkan di sekolah – sekolah,” kata Elvandes.

Sekretaris DPD IWO Indonesia Kabupaten Muara Enim ini menuturkan, sejak beberapa tahun, bahkan di saat slogan sekolah gratis digaung – gaungkan Pemerintah, praktek menjual buku LKS disekolah di Kabupaten Muara Enim masih terus berlangsung dengan bermacam modus, diantaranya dengan menggunakan koperasi sekolah. Kalau memang LKS dianggap penting bagi pelajar seharusnya sekolah bisa membeli LKS menggunakan dana Bos, bukan membebani pelajar.

”Praktek jual buku LKS di sekolah memang bukan rahasia lagi, bahkan boleh dikatakan hampir setiap sekolah melakukan praktek itu, tidak perlu kita sebutkan sekolahnya,” ucap Elvandes.

Pengacara dan advokat Muara Enim ini membeberkan lagi, setiap tahun ajaran baru, tenaga pengajar di sekolah – sekolah, baik itu kepala sekolah, guru ataupun tenaga kependidikan yang lain mulai melakukan praktek itu dengan mewajibkan siswa membeli LKS. Dan hal itu terus menjadi momok bagi wali pelajar.

Padahal tindakan itu sama saja dengan sudah melakukan maladministrasi, melanggar peraturan, dan bisa diberikan sanksi.

Dalam hal ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Muara Enim perlu merespon dan melakukan pembinaan yang berkelanjutan agar praktek jual LKS di sekolah – sekolah tidak boleh ada.

Tambah Ekvandes, menjual buku LKS ke peserta didik bisa mengarah ke bisnis.

”Jual beli buku LKS di sekolah, itu tidak berbeda dengan bisnis, sedangkan sekolah bukan tempat bisnis, apalagi yang dibisniskan itu para wali murid sendiri,” kata Elvandes

Atau, sambung Elvandes, hal itu juga telah mengindikasikan bahwa pihak sekolah telah melakukan praktik pungutan liar di dunia pendidikan.

Karena sudah jelas, papar Elvandes, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.

Juga Pada Undang-Undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur Sistem Perbukuan, tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.

Karena buku pegangan siswa dari sekolah diberikan secara gratis, karena disubsidi pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional (BOS).

“Buku yang disubsidi pemerintah tidak boleh dijual kepada siswa. Karena itu hak siswa,” kataElvandes.

Selama ini praktek jual beli buku LKS disekolah sering terjadi intimidasi dan menciptakan jurang antar peserta didik yang mau beli buku dengan yang tidak bisa beli buku.

”Itu sering dijadikan senjata di sekolah – sekolah, membuat peserta didik yang belum beli buku LKS jadi minder, dan mendesak orang tua untuk segera beli LKS. Hal ini terus berlangsung,” ucap Elvandes.

Selain itu, menganggap tidak memaksa, itu sangat tidak logis kalau sekolah membuat alasan itu terserah bagi pelajar mau beli LKS atau tidak. Sementara LKS itu dibutuhkan bagi pelajar. Artinya LKS itu sangat diharuskan bagi pelajar.

Masih kata Ekvandes, untuk beli LKS setiap wali pelajar harus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah, Itu terlihat memaksa Karena kegiatan belajar mengajarnya lebih sering menggunakan LKS. Jadi ya seakan-akan wajib membeli LKS.

”Praktek jual LKS di sekolah – sekolah justru berdampak pada mental anak – anak, antara anak yang bisa cepat beli LKS dengan anak yang terlambat beli LKS karena belum punya uang,” urai Elvan.

”Inikan patal, permainan sekolah seolah tidak memaksa tapi berdampak pada anak – anak,” terang Elvandes.

”Mana pula sekolah itu, satu kesatuan yang tak terpisahkan, tidak boleh donk ada pembiaran dari sekolah kepada peserta didik yang belum bisa beli buku LKS karena ketidak mampuannya. Lantas terhambat belajarnya karena tak memiliki LKS, itukan sangat miris,” ujar Elvandes.

Lanjut Elvandes, selama ini para wali pelajar walaupun sangat berat membeli LKS hingga ratusan ribu, namun mereka tidak berani ngomong, dikhawatirkan berdampak pada anaknya. Ujung – ujungnya ikut saja.

Memang, sambung Elvandes cuma ratusan ribu untuk beberapa buku LKS, itu kalau cuma memiliki satu anak sekolah, bagaimana kalau ada anak 3 atau 4 sekolah semua. Itu jelas sangat membebani wali murid.

Elvandes menuturkan apabila sekolah ingin menggunakan LKS untuk praktek belajar pelajar seharusnya menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sehingga tidak membebankan wali murid.

“Tapi inikan praktiknya berbeda, justru sebaliknya. Kita malah menduga dana BOS tidak digunakan sesuai peruntukannya oleh pihak sekolah,” ujar Elvandes.

Elvandes mengaku banyak menerima laporan terkait pembelian LKS di sekolah – sekolah Kabupaten Muara Enim. Ini menurutnya, tidak bisa dibiarkan, karena terkesan memaksa bagi wali murid untuk membelinya.

Dari laporan yang ia terima, kata Elvandes, pelajar harus mempunyai beberapa buku LKS. Di mana per satuan dihargai berkisar antara Rp 15.000 bahkan lebih. Hal Ini menurut Elvandes cukup memberatkan wali murid yang sebagian ekonominya menengah ke bawah.

Elvandes mengasumsikan, kalau satu kelas itu ada 30 pelajar, kalau dikali bisa mencapai Rp 3 juta lebih untuk satu kelas. Anggap saja satu tingkat sekolah ada tiga kelas, kalau dikali Rp 9 juta, bisa mencapai Rp 27 juta. Itu untuk satu sekolah saja,” jelas Elvandes merincikan.

” Perbuatan oknum ini jelas telah merusak citra pemerintah yang selalu mengkampanyekan sekolah gratis bahkan oleh para calon pemimpin saat menjelang pilkada,” kata Elvandes

”Dalam hal ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Muara Enim harus berkomitmen menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan bebas dari praktik yang membebani para pelajar serta merugikan masyarakat,” tambahnya.

”Jika perlu, ambil tindakan tegas terhadap oknum – oknum yang masih melakukan jual beli buku LKS di sekolah – sekolah,” pungkasnya.

Liputan : Edo Wilantara

Tidak ada komentar:

               
         
close