MATACYBER.COM | Tidak terasa sudah 3 bulan lagi atau lebih tepatnya pada bulan Februari tahun 2024 mendatang, kita akan memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, juga DPR/DPRD/DPD. Yang menariknya, para pemilih muda seperti Generasi Milenial dan Generasi Z akan mendominasi pada pemilihan umum nanti.
Ini menunjukkan bahwa semakin banyak generasi muda yang peduli dan terlibat dalam proses demokrasi di negara kita. Tentu saja, ini adalah kabar baik, karena generasi muda adalah masa depan bangsa. Namun, ini juga menunjukkan bahwa para kandidat harus memperhatikan isu-isu yang penting bagi generasi muda.
Nah, pastinya sudah pada paham dong apa itu demokrasi?
‘Demokrasi’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘demos’ yang berarti ‘rakyat’ dan ‘kratos’ yang berarti ‘kekuasaan’. Jadi, bisa diartikan bahwa para leluhur Yunani Kuno menganggap bahwa demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat.
Salah satu hal yang menandakan kesuksesan demokrasi adalah diadakannya Pemilihan Umum secara langsung. Pemilihan Umum merupakan mekanisme penting dalam sistem demokrasi modern yang memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan negara. Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 kali sejak tahun 1955 hingga saat ini.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dilayangkan sejumlah pihak.
Dengan putusan tersebut maka pemilu yang diterapkan di Indonesia tetap memakai sistem proporsional terbuka, seperti yang telah diberlakukan sejak 2004. Keputusan ini tentunya memberikan gambaran bahwa pemilu muncul bukan hanya dengan semaraknya tetapi juga polemiknya.
Sebagai generasi muda, banyak dari mereka yang bertanya – tanya bagaimana keabsahan ini semua. Tentang pemilu yang seolah – olah tidak serius. Para generasi muda berpikir bahwa tidaklah lebih baik untuk ‘GOLPUT’ saja?
GOLPUT. Istilah ini selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos. Banyak anggapan bermunculan terkait anak muda yang cerdas berpotensi Golput.
Mereka yang berpikiran kritis dinilai berpikiran terbalik dengan yang lain. Padahal cara berpikir kritis setiap orang itu berbeda. Ada yang berpikir bahwa memang sebaiknya golput.karena tidak ada gunanya. Mau pemimpin seperti apapun, hasilnya akan tetap sama. Orang bodoh mana yang akan mengorbankan waktunya yang berharga hanya untuk berbaris mengantri memilih pimpin negeri yang jelas – jelas tidak ada imbas langsung.
Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur Pater Gregor Neonbasu SVD PhD menilai ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab sebagian orang lebih memilih menjadi golput.
“Faktor pertama adalah kurang berkualitas kampanye yang disampaikan oleh para calon legislator yang ikut dalam kontestan pemilu,” kemudian kampanye yang disampaikan pun kurang menarik dan tidak membangkitkan hasrat warga masyarakat untuk mengambil bagian dalam suatu pesta demokrasi. Faktor kedua adalah, para kader yang dicalonkan oleh partai-partai politik mungkin melewati mekanisme partai politik, namun warga melihat justru dengan pertimbangan berbeda. Lalu, Faktor ketiga adalah praktek politik, dimana warga masyarakat juga sudah mahir membaca mengenai politik uang (money politic), yang sudah memborgol kreativitas para politisi.
Tapi dipikir lagi, apakah ketika kita tidak aktif memilih apakah kita dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hak dan kewajiban warga negara? Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban yang pasti dan mutlak, karena tergantung pada sudut pandang dan argumentasi yang digunakan. Namun, secara umum, ada dua pendapat yang berbeda mengenai hal ini, yaitu:
Pendapat yang menganggap golput sebagai bentuk pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara.
Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa menggunakan hak pilih adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi dan konstitusi. Dengan menggunakan hak pilih, warga negara menunjukkan rasa tanggung jawab, partisipasi, dan patriotisme terhadap negara dan bangsa. Dengan demikian, golput dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban warga negara, karena menunjukkan sikap tidak peduli, tidak bertanggung jawab, dan tidak patriotis terhadap negara dan bangsa.
Pendapat yang menganggap golput sebagai bentuk hak dan pilihan warga negara.
Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa menggunakan hak pilih adalah salah satu bentuk ekspresi diri dan kebebasan berpendapat. Dengan menggunakan hak pilih, warga negara menunjukkan rasa kritis, independen, dan berdaulat terhadap pilihan politik mereka. Dengan demikian, golput dapat dikatakan sebagai bentuk hak dan pilihan warga negara, karena menunjukkan sikap kritis, independen, dan berdaulat terhadap pilihan politik mereka. (*/Red)
Sumber Artikel: Rachma Indah Hidayanti – Mahasiswa Ilmu Komunikasi